Humanisme Pendidikan



 Yang dimaksud humanisme dalam pendidikan adalah proses pendidikan yang lebih memperhatikan aspek potensi manusia sebagai mahluk social dan mahluk religious, `Abdullah dan khalifatullah, serta sebagai individu yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengembangkan potensi-potensinya. Humanisme dimaknai sebagai kekuatan atau potensi individu untuk mengukur dan mencapai ranah ketuhanan dan penyelesaian permasalahan-permasalahan social. Menurut  pandangan ini, individu selalu dalam proses penyempurnaan diri, becoming atau istikmal (Abdurrahman Mas`ud, 2007: 135).
            Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan jiwa patriotik dan rasa kesetiakawanan social (www.suaramerdeka.com).
            Sedangkan dalam  antocoba.cybermq.com dijelaskan bahwa Pendidikan merupakan pilar tegaknya bangsa; Melalui pendidikanlah bangsa akan tegak mampu menjaga martabat. Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
            Kata kuncinya di sini adalah membentuk manusia-manusia yang berkepribadian utuh menuju bangsa yang cerdas dan berperadaban.  Sungguh tantangan yang maha berat yang tidak mungkin dicapai hanya dengan asal jalan. Butuh strategi yang jitu baik dalam managemen, faslitas maupun model/figur dalam segala lini entah pendidikan formal di sekolah-sekolah, informal seperti kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan dan nonformal dalam keluarga dan masyarakat. Kerjasama dari berbagai pihak seperti tenaga di luar pendidik dan kependidikan juga sangat penting baik itu untuk perbaikan tenaga pendidik dan kependidikan maupun untuk peserta didik dalam proses pembelajaran.
            Iqra` (bacalah) adalah wahyu pertama yang diturunkan pada nabi ahir zaman Muhammad saw. sebagai simbol pencerahan moral dan intelektual. Membaca baik ayat-ayat qouliyah (ayat Qur`an) maupun kauniyah (fenomena alam dan tingkah laku manusia) mampu menajamkan pola pikir manusia menuju insan yang berperadaban.  Lebih-lebih jika iqra` dilanjutkan dengan fungsi qolam (pena) dengan men-share-kan pengetahuan yang sudah diteliti dalam bentuk tulisan, sehingga orang lain bisa ikut menikmati hidayah (petunjuk/ilmu) Tuhan.
            Masalahnya terletak pada bagaimana membangkitkan ghiroh iqra` dan spirit of inquiry (semangat melakukan penelitian) kepada setiap insan Indonesia baik kanak-kanak maupun dewasa sehingga kelak bisa tercipta reading society atau masyarakat gemar membaca dan menuntut ilmu.
            Terdapat segudang ayat yang membahas pentingnya memfungsikan akal untuk kebaikan hidup manusia. Dengan memaksimalkan penggunaan akal manusia mampu menjalankan tugas hidup denagn lebih mudah (karena inovasi iptek) dan bermartabat (dihormati seluruh mahluk bumi dan langit serta disayang Tuhan).
            Namun dewasa ini isu humanisme dalam pendidikan sedemikian santernya, menuntut perubahan total. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mengakibatkan menurunnya kualitas peserta didik yang ini berarti kemunduran dan hancurnya bangsa. Kualitas pendidik masih jauh api dari panggang yakni belum mampu menjadi agent of change dalam dunia peradaban.
            Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Depdiknas, 2005a) dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Depdiknas, 2005b) dikemukakan empat kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran. Kompetensi tersebut mencakup paedagogik, kepribadian, profesional dan sosial. Kompetensi paedagogik adalah kemampuan mengelola pembalajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berahlak mulia. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan pendidik membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional . Kompetensi social adalah kemampuan pendidik sebagai bagian masyarakat untuk berkomunokasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesame pendidik, tenaga kependidikan, orang tua wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Majalah Psikologi Plus edisi Agustus, 2009:49-50).
            Keempat standar kompetensi tersebut sedemikian sempurnanya, akan tetapi sebagian besar guru belum mampu memahami dan melaksanakannya. Mungkin sejauh ini kompetensi professional sudah terlaksana bagi sebagian kecil pendidik. Akan tetapi untuk ketiga poin lainnya belum memenuhi. Seperti misalnya pemahaman terhadap peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Alih alih berusaha mengaktualisasikan potensi tapi justru malah mematikannya dengan sering memberi label negatif sehingga tercipta bad self image dan ahirnya tidak berani mencoba.
             Kemudian berahlak mulia sehingga menjadi good model, masih terkesan lamban diupayakan. Contoh lain bergaul secara efektif dengan sesama pendidik, yang hal ini sangat penting untuk kemajuan pendidikan, ternyata yang terjadi adalah adanya gap bahkan upaya menjatuhkan, yang dikondisikan sebagian pendidik yang mengakibatkan tidak terciptanya kenyamanan bekerja dan berkarya. Kesemuanya itu perlu mendapat perhatian yang serius.
            Beberapa penyebab lain yang mengakibatkan rendahnya kualitas peserta didik , disamping tidak terpenuhinya empat standar kompetensi pendidik adalah sebagai berikut :
1. Adanya pendikotomian antara ilmu agama dan ilmu umum. Pada hakekatnya semua ilmu berasal dari Tuhan karena Dialah sumber ilmu, sehingga seharusnya setiap transfer  ilmu harus di tujukan untuk mengakui keagungan Tuhan dengan maksud ahir supaya lebih dekat dengan-Nya atau lebih giat dalam beribadah di dunia.  Jadi sangat penting memberi nafas ( mengaitkan dengan) agama dalam setiap proses pembelajaran.
2. Dakwah bil maqol lebih dominan dari pada dakwah bil hal. Dalam konteks pendidikan baik di rumah maupun sekolah pendidik lebih sering mengajak dan mengingatkan peserta didik dengan lisan dari pada member contoh. Bahkan seringnya pendidik tidak melaksanakan apa yang mereka perintahkan. Hal ini sangat dibenci Tuhan dan mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pendidikan. Idealnya orang dewasa menjadi contoh, sehingga peserta didik bisa melihat langsung dan menirunya dengan lebih mudah. Teladan itu lebih mujarab dari pada kata-kata.
3. Budaya voice up (mengingatkan) kalah dengan Ashshumtu (diam). Dalam beberapa kasus, terkadang peserta didik mengalami ambivalen. Di satu sisi pendidik menyarankan pembiasaan kritik dan saran (kontrol sosial) misalnya dengan diadakannya kotak saran, tapi di sisi lain ketika kritik tersebut dilontarkan pendidik merasa keberatan dan dilecehkan, sehingga yang terjadi adalah pencarian kambing hitam dan negative feedback dari peserta didik kepada pendidik. Padahal hasil evaluasi para peserta didik lebih representative dan obyektif jika dibandingkan oleh pengawas yang belum tentu sebulan sekali berinteraksi dengan guru.  Wal hasil, terciptalah kemandulan kreativitas dan kemandiriran diganti dengan ketakutan dan perasaan bersalah yang pada ahirnya motivasi dan konsentrasi belajar plus prestasi rendah. Seharusnya peserta didik diberi kepercayaan untuk mengevaluasi dalam rangka perbaikan ke depan apa yang ia lihat dan hadapi setiap hari. Common sense alias pemanfaatan akal sehat atau upaya penyadaran diri serta budaya demokrasi harus ditingkatkan. Keduanya memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pribadi agar siap dievaluasi setiap waktu.
4. Berpusat pada guru (teacher-oriented).  Proses pembelajaran satu arah, dan serba guru, serta guru selalu benar, sikap diktator, lebih kental dari pada diskusi, pemberdayaan siswa, dan pengembangan potensi serta apresiasi siswa. Hal ini senada dengan budaya menyuapi anak kecil hingga usia 6 tahun. Metode ini harus segera dibenahi demi menyiapkan siswa yang berani mencoba dan mandiri. Dan ungkapan “being student is nothing, being a teacher is everything” harus diubah menjadi “student is everything for the better future of our country”.
5. Buku tidak matched. Sumber-sumber kepustakaan yang kurang up date, variatif, dan tidak memenuhi kuota menyebabkan terhambatnya pemahaman peserta didik terhadap pengetahuan yang senantiasa berkembang. Hal ini diperparah dengan cara mendidik yang careless, uncreative, dan tidak professional. Kebijakan sekolah terutama berkaitan dengan buku dan metode pengajaran harus lebih diprioritaskan.
6.  kebijakan pendidikan masih berorientasi pada fisik dari pada karakter peserta didik. Dewasa ini terlihat begitu banyak berdirinya sekolah-sekolah dengan gedung dan fasilitas yang bagus akan tetapi belum mampu menghasilkan peserta didik yang benar-benar berkualitas dalam arti cerdas, pandai, kreatif, mandiri plus berahlak mulia atau ber-IQ, EQ dan SQ. Sebagian baru mencakup IQ saja dan sekian persen EQ. Untuk SQ masih jauh dari harapan. Hal ini bisa dilihat dari adanya tawuran antar pelajar, atau kasus-kasus pelecehan seksual antar pelajar beserta akibat-akibatnya dan pengangguran.  Sungguh masalah ahlak adalah kewajiban semua pendidik dan orang tua, bukan hanya guru agama dan guru BK. Di negeri India, Perguruan Tinggi terbaik di sana ternyata hanya memiliki gedung setara SD di Indonesia, dan masih menggunakan kapur dalam proses pembelajarannya, tapi para pendidiknya berdedikadi tinggi dan professional. Tidak heran banyak perusahaan asing mengincar para pelajar di sana bahkan sebelum mereka lulus. SDM yang handal menjadi tujuan utamanya.
7.  Aggaran pendidikan masih menjadi perdebatan. Hal ini berbeda dengan Negara maju di mana untuk kepentingan pendidikan anggaran diprioritaskan. Bahkan di beberapa Negara biaya pendidikan dibebaskan. Mungkin juga di Negara kita terlalu banyak  anggaran yang menguap entah ke mana. Tugas pendidik adalah mencetak generasi yang cerdas, jujur, amanah dan berjiwa kebangsaan yang kelak bisa menjadi agen perubahan.
8.  Konsep `Abdullah lebih kental dari pada khalifatullah. Dalam hal ini adalah sekolah-sekolah berbasis agama. Peserta didik lebih banyak diajarkan bagaimana menjadi hamba Tuhan yang pandai beribadah untuk dirinya sendiri (saleh individual) dari pada menyiapkan pendidik menjadi pemimpin yang mampu mengelola alam, bergaul dengan manusia lain dan dekat dengan Tuhan (saleh individual dan sosial). Intinya yanfangu linnas atau bermanfaat bagi manusia lain.
9. Metode pendidikan yang masih punishment-oriented dari pada reward-oriented. Hal ini mengakibatkan sulitnya menciptakan kemandirian, melahirkan anak yang tidak kreatif, penakut, tidak percaya diri dan selalu menggantungkan diri pada orang lain. Proses pendidikan lebih banyak menakuti dari pada mengapresiasi peserta didik sebagai individu yang utuh. Semestinya antara hadiah/ penguatan dan hukuman harus seimbang. Karena itu penting menentukan tujuan dan memberitahu apa saja yang harus dilakukan (tanggung jawab) anak dan alasan rasionalnya sebelum menerapkan punishment dan reward.
10. Tradisi tangan dan mulut lebih dominan dari pada telinga dan mata. Kebanyakan pendidik lebih suka mengedepankan emosi dari pada akal sehat. Terlalu banyak contoh untuk diungkap. Misalnya saja ketika peserta didik melakukan kesalahan, dalam hal cara pemanggilan, nada nasehat, jenis kata yang dikeluarkan, bahasa tubuh, mimik muka, bahkan tindakan, masih sering bersifat tidak memanusiakan. Mungkin dalam hal ini butuh kesabaran, ketrampilan dan kekreatifan. Tantangan ini sebaiknya segera dipenuhi bila menginginkan peserta didik yang sehat jasmani dan rohani sehingga dengan kesalahan yang ia perbuat menjadikan peserta didik bertambah tahu/sadar dan memperbaiki kesalahannya serta lebih serius dalam belajar, bukannya down bahkan keluar sekolah. Ketrampilan mendengarkan dan mengamati sebelum memutuskan juga harus dilatih terus menerus.
11. Budaya malas dan tidak sabar.  Sudah bukan rahasia umum bahwa menginginkan yang simpel, cepat tapi hasilnya bagus adalah keinginan semua orang. Akan tetapi apabila hal ini diterapkan oleh pendidik dalam proses pendidikan maka yang terjadi adalah kehancuran. Malas mengajar, malas menyiapkan bahan ajar, malas mengevaluasi diri harus diganti dengan banyak bersyukur karena sudah mendapatkan pekerjaan, bisa makan, memiliki banyak teman yang baik dan diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mendidik, semua itu hendaknya diniati untuk beribadah kepada Allah dan hanya untuk mencari Ridlo-Nya sehingga tantangan-tantangan yang ada bisa lebih mudah dilewati dan tetap bersemangat dalam kondisi apapun karena ia hanya mencari penilaian Tuhan, bukan yang lain. Segala yang tidak didasarkan keihlasan akan sia-sia dan tidak menghasilkan apa-apa kecuali kekecewaan.
12. Pola pendidikan yang lebih beroientasi pada ‘apa’ (what oriented-education) dari pada ‘mengapa’ (why oriented-education). Metode pendidikan yang selalu mengarah pada ‘apakah’, hanya akan mengahasilkan peserta didik yang pandai menghafal (memoration) sedangkan metode ‘mengapa’ akan melatih peserta didik untuk terbiasa mengamati atau meneliti (spirit of inquiry/ bersemangat melakukan penelitian). Meneliti adalah proses inovasi, sehingga harus terus dilatih dan dikembangkan. Dengan ini, hidup kelak menjadi mudah karena terbiasa berpikir untuk menyelesaikan masalah. (dimodifikasi dari Abdurrahman Mas`ud, 2007).
              Dan point-point yang harus dilembagakan pada peserta didik dalam upaya  pembentukan pribadi yang thirst of knowledge, senantiasa berpikir dan berdzikir sehingga menjadi ahsani taqwim atau sebaik baik manusia yang merupakan satu paket ahlakul karimah modern yang menurut Abdurrahman mas`ud (2007: 227-228), adalah sebagai berikut: :  1).  Confidence: feeling able to do it (yakin : merasa mampu melakukannya).  2).  Motivation: wanting to do it (Motivasi : ingin melakukanny).  3).  Efforts ; Being willing to work hard (usaha : ingin bekerja keras).  4).  Responsibility : doing what’s right ( tanggung jawab : melakukan apa yang benar).  5).  Initiative : moving to action (initiatif : bergerak ke tindakan).  6).  Perseverance : completing what you start ( keuletan : menyelesaikan apa yang anda mulai).  7).  Caring : showing concern for others (peduli : menunjukkan perhatian pada orang lain). 8).  Teamwork : working with others (tim kerja : bekerja dengan orang lain).  9).  Commen sense : using good judgement (akal sehat : menggunakan penilaian yang baik).  10).  Problem solving : putting what you know and what you can do into action (pemecahan masalah : menerapkan apa yang anda ketahui dalam tindakan).   
        Terahir penulis sangat sependapat  bahwa God is watching us, so kita harus senantiasa berbuat yang terbaik dan lebih banyak setiap saat untuk kebaikan manusia, mulai dari hal-hal kecil dan mulai sekarang. Setuju?


Telah terbit di majalah Psikologi Plus Edisi Desember 2010, dengan judul Teladan Mujarab Melebihi Kata-kata


































































Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERAN GURU BK DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU EFEKTIF- NORMATIF SISWA

Akal Jamin Manusia Tidak Akan Bermasalah dengan Masalahnya